Oleh: Akbar Sukma Pratama
Sumber dari persoalan ini adalah lemahnya sistem pendidikan kita. Semestinya perguruan tinggi memiliki peranan penting dalam mengelola sumber daya manusia yang tertampil, tangguh, mandiri, berwawasan luas dan beretika. Perguruan tinggi seharusnya juga bisa mendorong ekonomi dengan menyediakan teknologi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal.
Akhirnya, persoalan terakhir yaitu tentang ada tidaknya model pendidikan alternatif sebagai upaya menjawab masalah pendidikan di atas. Untuk persoalan ini, barangkali dapat kita nyatakan bahwa memang ada sebuah model pendidikan alternatif yang patut diapresiasi yaitu:
“Pendidikan kritis”
Dari buku ini kita memahami bahwa pendidikan menjadi sekadar persaingan yang sayangnya tidak seimbang antara, “Sang Pemenang” dan “Si Pecundang”. Sang pemenang didukung kapital melimpah dengan mudahnya mengalahkan mereka yang lemah kapital. Si lemah hanya dapat belajar di sekolah reyot dengan kurangnya fasilitas. “Orang miskin dilarang sekolah”, frasa tersebut terasa tepat sekali menggambarkan mati surinya dunia pendidikan kita.
Ada anggapan kuat di masyarakat bahwa jika sekolah maka mudah mencari kerja. Orang tua menyekolahkan anaknya agar kelak anaknya mendapatkan pekerjaan memadai sesuai dengan ‘modal’ yang diinvestasikan orang tua ketika menyekolahkan anaknya.
Pertanyaannya, mengapa opini tersebut sudah sangat kuat mengakar di masyarakat kita? Tidak lain karena dominannya budaya kapitalis dan komersialisasi yang tumbuh subur pada masyarakat dan yang lebih mengkhawatirkan, budaya tersebut telah menjalar pada dunia pendidikan nasional kita.
Buku Mahzab Pendidikan Kritis yang ditulis Agus Nuryatno hadir menawarkan pandangan alternatif di tengah mandulnya arus pemikiran pendidikan. Pendidikan kritis yang oleh Giroux (1993) disebut radical education, bertujuan memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi ketidakadilan sosial melalui media pendidikan (McLaren, 1998). Agus Nuryatno mengelaborasi tiga basis teori yang melandasi mahzab pendidikan kritis: Mahzab Frankfurt, Gramsci, dan Freire.
Mahzab Frankfurt berakar dari tradisi Kant, Hegel, dan Marx. Yang utama dari teori ini adalah teori sosial harus memainkan peran altof dalam mengubah dunia dan meningkatkan kondisi sosial kemanusiaan di masyarakat.
Sementara itu, Antonio Gramsci lebih memusatkan perhatian pada masalah hegemoni; kondisi sosial dimana semua aspek realitas sosial dikonstruksi dan didominasi oleh kelompok dominan (superior). Hegemoni ini terus didukung dan diperkuat oleh institusi masyarakat sipil semacam hukum, agama, media massa, termasuk pendidkan itu sendiri. Oleh karenanya, pendidikan sebenarnya tidaklah netral, sebab ada muatan politis dan kepentingan yang bermain di dalamnya.
Basis teori ketiga datang dari pakar politik pendidikan, Paulo Freire. Keberpihakan pada kaum tertindas (the oppressed) adalah poros utama. Kaum tersebut dilihat dari dua ciri: Pertama, mereka mengalami alienasi (keterasingan) dari diri dan lingkungannya. Kedua, mereka mengalami self-depreciation (selalu merasa bodoh). Maka, kaum tertindas tersebut perlu diemansipasi dengan kesadaran kritis. Kesadaran ini bermaksud menjadikan manusia sebagai subjek ketimbang objek. Maka, pendidikan menurut Freire sinonim dengan pembebasan.
Buku ini sangat bermanfaat bagi kita yang bergelut di dunia pendidikan maupun pemerhati perkembangan pendidikan. Ulasan yang padat dan detail merupakan nilai lebih buku ini, meski kadang memabukkan dengan teori yang memusingkan.
Identitas Buku:
Judul: Mahzab Pendidikin Kritis: Menyikapi Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan
Penulis: Dr. M. Agus Nuryanto
Penerbit: Resist Book
Jumlah Halaman: 133