Generasi Phi Perlu Nongkrong Bersama Generasi Sebelumnya

Pernahkah anda mendengar istilah generasi milenial, baby boomers dan semacamnya? Istilah untuk pengelompokan generasi yang dipopulerkan oleh Strauss-Howe telah menjadi standar international seperti silent generation yang lahir pada abad ke-19. Orang yang lahir setelah perang dunia II atau pertengahan dekade 1940-an disebut baby boomers. Generasi X adalah mereka yang lahir pada pertengahan dekade 1960-an hingga awal 1980-an. Kemudian generasi Y atau populernya disebut dengan generasi milenial yang lahir di awal tahun 1980-an hingga awal tahun 2000, mereka adalah anak dari generasi baby boomers. Lalu, sekarang kita sering dengar juga istilah gen Z untuk mengelompokkan mereka yang lahir setelah tahun 2000-an. Pembagian generasi ini digunakan untuk meneliti tentang perubahan demografi dan pola karakter generasi di Amerika Serikat setelah perang dunia II. Akan tetapi, pola ini tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia. Menurut Dr Muhammad Faisal dalam bukunya yang berjudul Generasi Phi, beliau meneliti tentang karakter generasi di Indonesia sejak 2009 dengan tim riset bernama Youthlab.

 

Pada kenyataannya, generasi milenial di Indonesia memiliki karakter tersendiri yang tentunya berbeda dari negara lain. Dalam buku ini dijelaskan beberapa hal yang bisa menjadi tolok ukur kenapa generasi di Indonesia tidak cocok dengan standar internasional. Salah satunya karena kondisi politik Indonesia yang sangat dipengaruhi kejadian 1998, serta generasi yang lahir pasca kejadian bersejarah tersebut, dan bukan karena perang dunia II. Oleh karena itu, di dalam buku ini generasi dibagi menjadi generasi Alpha (generasi founding fathers seperti Soekarno, dan kawan-kawan) yang masa remajanya sekitar 1900-1930, generasi Beta yang masa remajanya sekitar 1930-1966 (generasi Pak Habibie dan kawan-kawan), generasi Omega yang masa remajanya sekitar 1970-1998 (seperti Iwan Fals, trio warkop, dan kawan-kawan). Lalu, generasi Phi, yaitu yang masa remajanya pada awal abad 21 (seperti Raisa, Maudy Ayunda dan kita-kita ini). Pada intinya, penelitian ini menjauhkan segala faktor yang terlihat di media sosial atau dunia internet, karena generasi Phi sendiri menjalani dua rel yang berbeda antara tren yang sedang hangat di media sosial, dengan yang terjadi di kehidupan sehari-hari.

 

Cerita di atas tentu tidak akan berdampak besar secara langsung dengan kehidupan kita sehari-hari, tapi sangat perlu diketahui oleh orang-orang yang ingin menjadikan Indonesia negeri yang lebih baik. Faktanya, Indonesia sedang berada di ujung pintu menuju bonus demografi yang diprediksi bahwa, pada tahun 2045 penduduk Indonesia akan berjumlah sekitar 318 juta jiwa dan 70%-nya adalah usia produktif (usia 15-64 tahun). Bayangkan saja, jika sekarang tidak sebanyak itu saja, saingan kita dalam ujian masuk universitas, mencari kerja, dan berbisnis sudah sangat banyak apalagi ketika bonus demografi tersebut sudah kita alami? Bonus demografi ini dapat menjadi gerbang Indonesia untuk menuju arah yang lebih baik atau tidak, karena dengan hadirnya penduduk usia produktif, roda ekonomi dapat berkembang ke arah yang lebih baik atau tidak. Bagaimana bisa kita bersaing jika tidak mempersiapkan generasi muda untuk itu?

 

Dalam buku ini, Dr Faisal menjabarkan beberapa kekhawatiran sekaligus rasa optimis beliau terhadap generasi muda. Salah satunya yang saya sukai mengenai budaya nongkrong. Dalam kolom The New York Times yang mendefenisikan bahwa “Nongkrong is a word for sitting, talking and generally doing nothing”. Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal karena adopsi dan penetrasi media sosialnya yang sangat tinggi. Tapi, uniknya perkembangan itu tidak lantas membuat generasi anak muda menjadi individualistik. Nongkrong adalah salah satu bukti bagaimana kuatnya kolektivitas dan komunalnya anak muda Indonesia dan kekuatan komunal itu dapat mewujudkan perubahan besar. Terkadang, kita juga sering melihat dari nongkrong menjadi sebuah komunitas, atau menjadi sebuah gerakan. Jadi, budaya nongkrong yang katanya tidak berguna itu, mungkin lama-lama akan berguna karena kalau kita sering nongkrong dengan orang yang berpikiran maju, maka kita pun terpengaruh ingin maju juga.

 

Namun, generasi Phi sendiri memiliki tantangan kompleks seperti, indeks korupsi yang tinggi, isu radikalisme, tantangan pasar bebas, globalisasi, krisis sumber daya alam, dan kesenjangan sosial. Oleh karenanya hal ini juga yang membuat generasi Phi merasa teralienisasi seakan kurang terhubung dengan generasi terdahulu. Lalu, sering pula generasi Phi dianggap melawan arus nilai-nilai konservatif dan tradisi karena mereka terputus secara kultural dengan generasi terdahulu. Teknologi juga merubah persepsi praktik hidup sehari-hari mereka yang juga besar di era tidak merasakan konflik 1998, sehingga mereka cenderung kembali komunal dengan satu generasi mereka.

 

Ada beberapa topik besar yang dibahas untuk mengenali generasi Phi, seperti kultur media sosial mereka, filosofi nongkrong, nasionalisme, karir, pandangan tentang spiritual, lifestyle, hobi dan lain sebagainya. Pada buku ini ada banyak anjuran agar generasi muda terarah menuju hal-hal yang positif untuk membantu generasi Phi berkembang menjadi generasi yang dapat mengubah Indonesia.

 

Membaca buku ini saya menjadi merasa optimis sekaligus takut terhadap masa depan Indonesia. Pasalnya jika tidak dianggap dan digarap serius, generasi muda sekarang bisa menjadi pengubah Indonesia namun ke arah kemunduran.


Identitas Buku:
Judul: Generasi Phi: Memahami Milenial Pengubah Indonesia
Penulis: Muhammad Faisal
Jumlah Halaman: 244
Penerbit: Penerbit Republika

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *